Pertanyaan :
Adik saya bekerja sebagai karyawan tetap pada sebuah Hotel Bintang 4 pada jabatan level supervisory di Dept. Accounting. Dahulu perusahaan menerapkan sistem 5 hari kerja dengan waktu kerja mulai pukul 08.00 s/d 17.00 dengan waktu istirahat 1 jam. Tapi sekarang perusahaan menerapkan sitem 6 hari kerja, namun anehnya jam kerjanya tetap seperti saat 5 hari kerja (jam 08.00 s/d 17.00) namun dalam prakteknya jam pulang kerja minimal jam 18.00-19.00. Bahkan terkadang terpaksa harus pulang sampai malam (sering s/d jam 22.00), dia juga tidak mendapat upah lembur dengan alasan level supervisory tidak berhak atas upah lembur. Padahal, walaupun levelnya sudah supervisory dalam prakteknya dia tetap mengerjakan pekerjaan staf biasa (klerikal) dan tidak mempunyai anak buah. Pertanyaan saya, apakah Perusahaan melanggar ketentuan Ketenagakerjaan dengan penerapan system 6 hari kerja dengan jam kerja melebihi 40 jam/minggu? Bagaimana dengan tidak adanya upah lembur bagai karyawan level supervisory tersebut? Apakah sansi bagi perusahaan atas pelanggaran tersebut? Mohon penjelasannya.
Jawaban :
Kewajiban bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja untuk membayar upah kerja lembur diatur dalam pasal 78 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):
“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur”
Akan tetapi, ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut, tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Hal ini diatur dalam pasal 78 ayat (4) UUK, bahwa untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur lebih lanjut secara khusus oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Dalam pasal 4 ayat (2) Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No. KEP-102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (“Kepmenakertrans”), diatur bahwa pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah kerja lembur, dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi.
Siapa golongan pekerja yang tidak berhak atas upah kerja lembur seperti diatur dalam Kepmenakertrans di atas? Pasal 4 ayat (2) Kepmenakertrans tersebut menjelaskan bahwa golongan jabatan tertentu tersebut adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan.
Kembali pada pertanyaan Anda, apakah supervisor tidak memiliki hak untuk upah kerja lembur, maka harus dilihat dari tanggungjawab pekerjaan supervisor tersebut. Apakah tanggung jawabnya termasuk dalam kategori “sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan”? Apabila ya, maka dia tidak berhak atas upah kerja lembur tersebut. Apabila tidak, maka dia berhak memperoleh upah kerja lembur karena tidak termasuk dalam golongan jabatan yang dikecualikan dari hak atas upah kerja lembur.
Bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah kerja lembur yang menjadi hak pekerjanya, pasal 187 ayat (1) UUK mengatur bahwa pengusaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dasar hukum:
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No. KEP-102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
Untuk informasi hubungi Hp: 081382756755 (Kusnadi, S.Sos)
Terima kasih atas kunjungan anda